1. Sejarah Perkembangan Pragmatik Di Indonesia
Di Indonesia istilah pragmatik secara nyata baru disebut-sebut pada tahun 1984, yaitu pada saat diberlakukannya Kurikulum SMA Tahun 1984. Di dalam kurikulum itu pragmatik merupakan salah satu pokok bahasan bidang studi Bahasa Indonesia. Atas dasar tuntutan kurikulum itulah, istilah itu mulai dibicarakan dan dibahas.
Buku acuan yang merupakan perintis bidang pragmatik di Indonesia pada awalnya adalah karya Tarigan (1986) berjudul Pengajaran Pragmatik. Buku ini masih sangat umum, deskripsi tentang topik-topiknya sangat terbatas dan sekadar mengatasi kelangkaan bahan ajar bidang itu. Nababan (1987) mencoba pula menerbitkan buku Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya), yang juga masih banyak mengandung kekurangan. Sementara itu, Tallei (1988) mencoba mendeskripsikannya agak mendalam. Topik-topik bahasannya antara lain tindak tutur (speech act), implikatur, dan praanggapan (presupposition). Sayang sekali karya Tallei ini tidak mencakup semua topik pragmatik dan bahasannya hanya merupakan bagian dari karya yang berjudul Analisis Wacana.
Tahun 1990, Purwo menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Buku ini merupakan gugatan atas perlakuan terhadap pragmatik di Indonesia dengan mencoba meluruskan pengertiannya. Baginya cabang linguistik ini dapat dibedakan menjadi dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, dan (2) pragmatik sebagai sesuatu yang mewarnai tindakan mengajar. Buku Purwo ini hanya membahas empat hal saja, yaitu dieksis, praanggapan, tindak ujaran, dan implikatur percakapan. Keluasan cakupan bahasan inilah yang menjadi kelemahan buku tersebut.
Di tahun 1990 juga, Suyono menerbitkan buku yang berjudul Pragmatik: Dasar-Dasar dan Pengajarannya. Sayangnya, buku ini tidak membahas secara mendalam seluruh topik yang disajikan. Bahasan Lubis (1993) dalam karyanya Analisis Wacana Pragmatik agak mendalam. Meski demikian, karya ini hanya membahas dari aspek analisis wacana. Aspek-aspek lain belum disentuhnya. Hal serupa juga terjadi dalam karya Ibrahim (1993) yang berjudul Kajian Tindak Tutur, yang hanya mengupas satu topik saja, yaitu tindak tutur.
Pada tahun 1996 terbit buku Dasar-Dasar Pragmatik karya Wijana. Buku ini sebenarnya menuju ke arah pragmatik yang sebenarnya. Topik-topik bahasannya cukup banyak, dari situasi tutur, tindak tutur, jenis tindak tutur, presupposisi, implikatur, emtailment, kalimat analitis -kontradiktif- sintetis, prinsip kerjasama, prinsip kesopanan, sampai dengan parameter pragmatik. Hanya saja deskripsi di dalam karya ini masih sangat terbatas, berkecil-kecil, dan bersifat anomalitis.
Penelitian tentang pragmatik di dalam rangka disertasi telah dilakukan oleh Purwo (1984). Pokok persoalan penelitian itu adalah diesksis. Penelitian ini merupakan perintis penelitian tentang pragmatik di Universitas Indonesia. Rintisan penelitian bidang pragmatik dilakukan pula oleh Rofiudin (1994) dari IKIP Malang, dengan topik bahasan tentang sistem pertanyaan dalam bahasa Indonesia.
Penelitian lain yang berkaitan dengan pragmatik dilakukan oleh Gunarwan, peneliti Universitas Indonesia. Tahun 1992, ia meneliti persepsi kesantunan direktif di dalam bahasa Indonesia di antara beberapa kelompok etnik di Jakarta. Direktif dan sopan santun bahasa di dalam bahasa Indonesia merupakan topik penelitian pragmatik Gunarwan (1995) berikutnya. Temuannya ialah bahwa ada kesejajaran antara ketidaklangsungan tindak tutur direktif dan kesantunan pemakaiannya. Hanya saja kesejajaran itu tidak selamanya berlaku.
Penelitian pragmatik dalam bahasa Indonesia dengan latar budaya Jawa telah dilakukan Gunarwan (1993 dan 1997). Penyelidikan Gunarwan (1993) berpokok bahasanan kesantunan negatif di kalangan dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta dengan menerapkan kajian sosiopragmatik. Pada tahun 1997 ia juga menghasilkan karya penelitian di bidang ini, berupa karya tentang tindak tutur melarang di dalam bahasa Indonesia di kalangan penutur jati bahasa Jawa. Makalahnya telah disajikan dalam Kongres Linguistik Nasional di Surabaya tanggal 7-11 November 1997.
Dalam bahasa Jawa telah pula dilakukan penelitian tentang cabang linguistik ini, yaitu oleh Ngadiman (1994) dan Gunarwan (1996). Ngadiman (1994) meneliti implikatur percakapan di dalam bahasa Jawa di Yogyakarta. Penelitian ini memperoleh temuan bahwa bahasa Jawa kaya akan implikatur percakapan. Bentuk-bentuk figuratif di dalam bahasa Jawa seperti sanepa, wangsalan, dan bebasan merupakan realisasi implikatur percakapan bahasa Jawa di Yogyakarta.
Sementara itu, Gunarwan (1996) telah melakukan penyelidikan tentang tindak tutur mengkritik dengan parameter umur di kalangan [enutur jati bahasa Jawa dan implikasinya pada usaha pembinaan bahasa. Hasil penelitian ini disajikan dalam Kongres Bahasa Jawa di Batu, Malang. Ia menarik simpulan bahwa bentuk kritik di kalangan orang Jawa sejalan dengan gradasi umur. Realisasi tindak tutur mengkritik di antara penutur bahasa Jawa tidak berbeda karena faktor jenis kelamin. Simpulan penting lainnya adalah bahwa orang muda Jawa lebih langsung dalam mengemukakan kritik daripada orang tua.
Berdasarkan deskripsi itu dapat dinyatakan bahwa kajian bidang pragmatik di Indonesia masih sangat terbatas. Implikatur percakapan sebagai fenomena terpenting di dalam bidang ini baru diteliti beberapa orang. Penelitian yang dilakukan itu pun belum memadai sebagai karya pragmatik yang mendalam. Karya Soedjatmiko (1992) tentang aspek linguistik dan sosiokultural di dalam humor dan Wijana (1996) tentang wacana kartun di dalam bahasa Indonesia bukanlah tentang implikatur percakapan.
2. Sekilas Perbedaan Pragmatik, Sintaksis, Semantik, dan Sosiolinguistik
Perbedaan pragmatik, sintaksis, semantik, dan sosiolinguistik dapat dijelaskan secara ringkas seperti berikut.
Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Terjadi kesalahan. Tunggu sebentar dan coba lagi.
Pragmatik adalah cabang linguistik yang mempelajari hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan melalui penafsiran terhadap situasi penuturannya.[1] Dalam linguistik, pragmatik merupakan salah satu bagian dari semiotika.[2] Prinsip-prinsip di dalam pragmatik meliputi sintesis antara studi, maksud dan tuturan.[3] Sementara aspek yang dilibatkan dalam pragmatik ialah unsur bahasa, penutur bahasa dan penaksir bahasa.[4] Pragmatik mengkaji makna kontekstual atau makna situasional berdasarkan latar tempat, latar waktu, partisipan, tujuan topik dan media komunikasi.[5] Acuan dalam analisis makna pada komunikasi lisan di dalam pragmatik menggunakan teori tindak tutur.[6] Teori pragmatik digunakan salah satunya sebagai cara untuk menilai tujuan tertentu di dalam karya sastra berisi nilai atau ajaran yang ditujukan kepada pembaca.[7] Selain itu, pragmatik juga mengkaji tentang wacana.[8]
Pandangan awal mengenai pragmatik dikembangkan oleh Charles W. Morris pada tahun 1938. Landasan pengembangan pragmatik yang digunakan oleh Morris adalah semiotika. Ilmu semiotika dibagi oleh Morris menjadi semantik, sintaksis dan pragmatik. Ilmu pragmatik kemudian berkembang di Eropa selama periode 1940-an. Pada tahun 1960, Michael Halliday mengembangan sebuah teori sosial yang menjadikan bahasa sebagai sebuah fenomena sosial. Selanjutnya, di Amerika Serikat pada tahun 1962 berkembang paham pragmatik yang berasal dari pemikiran filsafat J. L. Austin. Karya Austin yang mempengaruhi ilmu pragmatik di Amerika Serikat ialah sebuah buku berjudul How to Do Things with Words (1962). Pemikiran utama dari Austin ialah mengenai tuturan performatif dan konstatif serta gagasan tentang lokusi, ilokusi, perlokusi dan daya ilokusi dari tuturan. Ilmu pragmatik di Amerika Serikat juga dipengaruhi oleh murid Austin yang bernama John Searle. Ia mengembangkan pemikiran-pemikiran Austin dan menerbitkan karya-karyanya mengenai pragmatik pada tahun 1969 dan 1975. Konsep penting yang dikembangkan oleh Searle adalah tentang tindak tutur. Selain Austin dan Searle terdapat beberapa pemikir lainnya yaitu Paul Grice, John Rankine Goody, Stephen C. Levinson dan Mey.[9]
Istilah pragmatik pertama kali diperkenalkan oleh Charles W. Morris melalui pembagian semiotika.[10] Pragmatik memiliki dua makna dalam arti yang luas maupun sempit. Secara luas, pragmatik diartikan sebagai salah satu bagian dari semiotika. Pemaknaan ini diberikan oleh Morris. Pragmatik dalam arti luas ini digunakan dalam berbagai karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan permasalahan bahasa, antara lain psikpatologi komunikasi dan evolusi sistem simbol. Sementara dalam arti sempit, pragmatik merupakan suatu kondisi penelitian yang memiliki rujukan nyata tehadap pengguna bahasa atau pembicara. Pemaknaan kedua ini diberikan oleh Rudolf Carnap.[11]
Filsafat bahasa biasa muncul sebagai pertentangan atas pandangan bahwa bahasa dibentuk melalui atomisme logis dan positivisme logis yang menggunakan logika yang rumit. Tokoh pemikirnya yang paling awal adalah Ludwig Wittgenstein. Kemunculan filsafat bahasa biasa mempengaruhi pemikiran-pemikiran filsafat di Eropa. Kajian atas filsafat bahasa biasa ini kemudian mengutamakan aspek pragmatik dari suatu bahasa. Filsafat bahasa biasa kemudian mengkaji ulang tentang makna kehidupan manusia melalui bahasa.[12]
Sosiolinguistik mengkaji tentang variasi bahasa dan penggunaan bahasa di lingkungan sosial dari suatu masyarakat. Konteks sosilinguistik berkaitan dengan pragmatik, karena sosiolinguistik mengkaji unsur-unsur di luar bahasa. Hubungan antara sosioloinguistik dengan pragmatik ada dua. Pertama, pragmatik mempelajari aspek konteks yang menentukan makna dari suatu tuturan. Kedua, pragmatik mempelajari persyaratan yang mengakibatkan adanya kesesuaian antara pemakaian bahasa dalam komunikasi. Konteks diperlukan dalam pragmatik untuk bahasa-bahasa tertentu. Konteks ini berkaitan dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik yang meliputi status sosial, tingkat pendidikan, umur, tingkat ekonomi, dan jenis kelamin.[13] Kajian pragmatik di dalam sosiolinguistik berkaitan dengan kompetensi sosial dan budaya dari penggunaan bahasa. Sosiolingusitik mengarahkan penerapan pragmatik dalam pembelajaran bahasa yang sifat tuturannya lebih baik dan merupakan bahasa yang berterima.[14]
Prinsip kesantunan berbahasa digunakan dengan asumsi pragmatik untuk melakukan penolakan menggunakan suatu bahasa. Kesantunan berbahasa diketahui selama penuturan dilakukan oleh penutur. Penolakan ini merupakan reaksi dari penuturan lawan tutur. Jenis penuturannya berisi ungkapan yang tidak menerima dan tidak menyetujui ajakan, tawaran, atau permintaan dari lawan tutur. Penolakan memenuhi fungsi memerintah dalam komunikasi verbal dengan sifat reaksi yang negatif.[15]
Istilah dan teori mengenai tindak tutur pertama kali diperkenalkan oleh J. L. Austin pada tahun tahun 1955 di Universitas Harvard, Inggris. Gagasan tertulis Austin terhadap teori tindak tutur baru diterbitkan pada tahun 1962 dalam sebuah buku berjudul How to Do Things with Words. Dalam karya tulisnya ini, Austin berpendapat bahwa tindakan terjadi selama individu mengatakan tentang sesuatu. Contoh yang diberikan untuk pendapatnya ini adalah ucapan janji yang melibatkan tindakan perjanjian, serta ucapan maaf yang melibatkan tindakan meminta maaf. Austin mengemukakan bahwa setiap ujaran tidak hanya merupakan tindakan untuk mengatakan sesuatu, tetapi juga bagian dari melakukan tindakan. Pandangan Austin mengenai tindak tutur mempengaruhi kajian linguistik.[16]
Tindak tutur yang dikembangkan oleh Austin terbagi menjadi lokusi, ilokusi dan perlokusi.[17] Lokusi merupakan tindak menuturkan sesuatu, sementara ilokusi adalah tindak melakukan sesuatu. Sedangkan perlokusi merupakan maksud tuturan yang memberikan suatu pengaruh atau akibat kepada pendengar.[18]
Praanggapan diartikan secara sederhana sebagai tindakan menduga sebelumnya. Dalam arti lain, praanggapan adalah dugaan mengenai lawan bicara atau hal yang dibicarakan. Penduganya adalah pembicara atau penulis. Tindakan praanggapan muncul sebelum mengujarkan sesuatu. Levinson mengembangkan konsep mengenai praanggapan menjadi semacam anggapan atau pengetahuan terhadap latar belakang yang memberikan makna kepada suatu tindakan, teori, atau ungkapan. Suatu tuturan menjadi benar atau salah dapat ditentukan dengan adanya praanggapan.[19]
Istilah implikatur pertama kali diperkenalkan oleh Paul Grice pada tahun 1975. Impilkatur berarti maksud dari penutur yang tidak ada di dalam tuturan karena disampaikan secara berbeda dalam tuturannya. Pembicara umumnya telah mengetahui implikatur dalam komunikasi verbal.[20]
Charle W. Morris merupakan tokoh pemikir yang memperkenalkan istilah pragmatik untuk mewakili kegiatan pengkajian seluk-beluk penggunaan bahasa di bidang linguistik. Morris merupakan penganut behaviorisme dari Amerika Serikat. Ia mengembangkan pemikirannya dengan sumber inspirasi dan John Locke dan Charles Sanders Peirce. Kedua tokoh ini merupakan penganut pragmatisme yang kemudian mengembangkan semiotika. Morris mengembangkan semiotika dengan membaginya menjadi tiga bagian, yaitu sintaksis, semantik dan pragmatik. Menurutnya, pragmatik merupakan studi tentang hubungan tanda-tanda yang melibatkan tafsiran.[21]
George Yule memandang pragmatik sebagai ilmu yang mempelajari mengenai makna dari komunikasi antara pembicara dan penerjemahannya oleh pendengar atau pembaca. Pragmatik dalam pandangan Yule mengutamakan makna dari pembicara ke pendengar dibandingkan makna dari kosakata yang dituturkan. Dalam pemikiran Yule, tafsiran perlu dimasukkan ke dalam pragmatik. Setiap konteks yang dibicarakan oleh pembicara perlu diketahui maknanya. Faktor yang dipertimbangkan ialah lawan bicara, lokasi dan waktu pelaksanaan pembicaraaan serta situasi pembicaraan.[22]
Analisis makna terhadap suatu humor dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu ilmu pragmatik yaitu bahasa samar. Makna dari suatu humor diketahui melalui pengungkapan makna atau ekspresi yang tidak dinyatakan secara jelas. Penggunaan bahasa samar dalam analisis makna di dalam humor disebabkan oleh sifat humor yang menyesuaikan dengan budaya dari penutur dan pendengar tuturannya. Persepsi budaya juga berlaku bagi humor yang disampaikan melalui tulisan oleh penulis untuk pembacanya. Pemahaman terhadap budaya dari penutur diperlukan untuk memahami kelucuan dari tuturannya.[23]
Analisis wacana merupakan analisis atas bahasa yang digunakan oleh penutur. Dalam kajian komunikasi, analisis wacana tidak dapat dibatasi pada deskripsi terhadap bentuk bahasa yang tidak memiliki kaitan dengan tujuan atau fungsi komunikasi dalam kehidupan manusia. Sebaliknya, analisis wacana dikembangkan dengan model inferensial agar pemahaman makna mencakup aspek kode dan juga premis-premis dalam komunikasi. Kajian wacana ini kemudian menggunakan konteks.[24] Pemakaian konteks dalam analisis wacana merupakan bagian dari pendekatan pragmatik.[25] Komponen pragmatik merupakan bagian yang menentukan fungsi kalimat dalam konteks komunikasi secara lisan maupun tulisan dari pembicara atau suatu informasi.[26]
Pragmatik merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam kajian sastra. Fokus utamanya berkaitan dengan peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. Dalam pendekatan pragmatik, peran pembaca adalah menentukan kelayakan suatu karya sastra untuk disebut sebagai karya sastra. Kelayakan karya sastra di dalam pendekatan pragmatik berkaitan dengan kemampuan karya sastra dalam menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca. Tujuan yang ingin disampaikan dapat berupa tujuan politik, pendidikan, moral, agama atau tujuan yang lainnya. Keberhasilan suatu karya sastra dinilai berdasarkan keberhasilan penyampaian tujuan kepada pembaca. Pendekatan pragmatik lebih mengutamakan fungsi dalam memberikan pendidikan dan pengajaran. Bentuk pengajarannya berupa moral, agama maupun fungsi sosial lainnya. Suatu karya sastra dianggap berkualitas jika nilai pendidikan di dalamnya semakin banyak pula.[27] Penilaian karya sastra dalam pendekatan pragmatik dapat dilakukan oleh pembaca tanpa memperhatikan waktu penulisan karya sastra. Karya sastra dinilai dari pembaca pada zamannya maupun pembaca pada zaman setelahnya. Pendekatan pragmatik terhadap karya sastra dikenal dengan resepsi sastra.[28]
Penerjemahan merupakan proses interaktif yang melibatkan unsur semiotika, yaitu sintaksis, semantik dan pragmatik. Ketiga unsur ini digunakan dalam analisis maupun sintesis. Kemungkinan yang dapat timbul selama ketiga proses tersebut berlangsung ialah cepatnya proses penyelesaian dan adanya perpaduan antara analisis dan sintesis menggunakan pendekatan simultan terhadap klausa. Simultan ini dapat berbentuk pengenalan pola maupun prosedur inferensi yang sebelumnya telah dilandasi oleh pengalaman dan harapan.[29]
Peran dari analisis pragmatik adalah untuk memperoleh pemahaman terhadap bahasa sumber yang meliputi tujuan teks, struktur tematik dan gaya teks.[30] Dalam penerjemahan bahasa sumber, pragmatik mengutamakan aspek ketepatan informasi. Sementara aspek kebahasaan kurang dipertimbangkan. Penerjemahan pragmatik antara lain pada dokumen-dokumen teknik yang digunakan sebagai instruksi manual. Salah satu penerapan praktisnya adalah pada dokumen untuk perakitan mesin oleh mekanik.[31]
Penerapan pragmatik dalam pemerolehan bahasa kedua terjadi secara alami. Situasi yang menimbulkannya adalah interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari melalui komunikasi. Pemakaian bahasa kedua pada komunikasi harian akan meningkatkan motivasi dari pembelajar bahasa tersebut. Pembelajar bahasa kedua menggunakan strategi pragmatik secara alami. Strategi ini dilakukan dengan menyesuaikan pengetahuannya terhadap suatu bahasa dan menghindari topik-topik yang tidak dikuasai. Pada proses ini, pembelajar bahasa kedua memusatkan perhatian terhadap inti komunikasinya sehingga sesuai dengan tujuan, situasi dan tugas dari individu yang berkomunikasi.[32]
Pragmatik merupakan kajian utama dalam linguistik pada manusia yang masih dalam usia sekolah. Ilmunya digunakan secara praktis pada bentuk komunikasi yaitu bertutur dan bercakap.[33] Para pemikir pragmatik memberikan sumbangsih berupa teori mengenai perkembangan pembelajaran bahasa pada anak. Dalam teori ini, anak belajar untuk menguasai bahasa dengan tujuan untuk sosialisasi dan mempengaruhi perilaku orang lain agar sesuai dengan keinginannya. Dalam teori pragmatik, anak belajar bentuk dan arti bahasa karena adanya motivasi berupa kebermanfaatan dari fungsi bahasa. Michael Halliday membuat analisis terhadap cara anak dalam mengembangkan bahasa awal melalui interaksi dengan orang lain. Ia kemudian membaginya menjadi beberapa jenis, yaitu bahasa instrumental, bahasa dogmatis, bahasa interaksi, bahasa personal, bahasa heuristik, bahasa imajinatif dan bahasa informasi. Para penganut teori pragmatik lainnya juga mempelajari tentang konteks kalimat dan kecenderungan pembicara dalam berbagai kegiatan berbahasa. Kekurangan dari teori pragmatik adalah tidak mampu menjelaskan tentang cara anak belajar tentang sintaksis.[34]
Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.
Sejarah Singkat Pragmatik
%PDF-1.5 %âãÏÓ 6 0 obj << /Type /XObject /Subtype /Image /BitsPerComponent 8 /Width 117 /Height 84 /ColorSpace [/Indexed /DeviceRGB 255 7 0 R ] /Filter /FlateDecode /Length 5027 >> stream x^�Z‹v¤¸’!ôD-¡*\e{ºï¾îÿßF¦ªÊžîÝsÏ®Úc{l@R*"22q×ý‹Ñw�èúAŽjšõ²n«1+>¯f�ño]5}‹ÿ§/«\ø¡âÏó¶Í+>æ5§�°�ó!î.u?†<Î&Ë™Ÿ‚Û7šwËøVn´Œuûm¬™~Æsæ6óZV÷·‘’ûm¤îH5ùÎÓ ªïlµÞÇÁŒªô4³Ê™žd°!cæí�Rô:P4$ÅDOrR�1�/_#g3N%^œˆW¿w¶‹]ê{ëÓ±ƒ¤)ž†G�òßMƒ½QlW•eâ‘ÎWþ×1c¡ã¢Ö¼¨¡\bwíj �öÝ¥«o7-ç›Üè8gõçíšÂ«-Õí¬>‡ =÷ûÔ¯µÌºý€á€ã”Rë!†ãš\@̃í½OiOãhîyUó®ÊÞG+€‹ÎŠ*:—ž;Õ2«¢Tþvy¦¡y:Ú‡6€Â(5Aióà|Š Y@¾÷n?ú�~ÞžU„ØÙ¾«½«âøXå+gÜSÉ=/~iÊʹh¦ÁofhÐBªF™±ëàjß OäúþˆF×Ñ @ä¸jIa¤Ìnüûoƒ£É;[£w5Öa4ªdPã1=Çç˜G¬ë¬ýéÓî]r}Âî»n·´t‹5Ù¨§2£Å ß™ÏqÖó»7Th›LɆëÅ�cK,£‹6ÄX‹”Å,9hm\WÔª‰�i»¯%`�×E©›™¤T3vØ@Aê±émtjn8‘C^Æñy eSïršl÷)Îdm¬gÅÖ±÷„-¸zœYgµ(MØfþ›Uï r�ËÍŒG €�H³ÊiC73mð³Že2úvÙCìý.-ü°Ø¸we›Æažå´Nr1YAô< ¿C€Œ]Dáìh;BŠ¢ƒ�DD)™ªYë²áéYM†Â�øhž“Ž�ÁsË[1ƒ;@B´÷‰!t8€‹!‚¡`è<°Œ:×Û·Þ‚RKŠ°°i$@h°‡’ ¸�Õ»£ÖC€¼ ŠGY FáÆlÁùÉ\d)×Ú˜ãØ6Ñ™¡{Ñ]«Ø÷8Js£L\m3(\fÔ*?tÅ}‚¸ê»#„Óº£ûq%À)Uè)+qB�ep ܧSu»u·>:w}Çõ–+[>àuv-Ð)‘Þâ¡m®V›NÄEˆz9àJKëj€°t{--L°ãÆLËÀžç2iÐn^t;T™î$ø¤ß-83Ní–oz" „¾×´èlôO©�ñŒ)?‘]ðèEŽË[²§ß“°}€ÚØ.í ök Pf*êµcÄ÷…õŠÉ°ÑÑÍø~ ·ËiÅqæ•ÕW«fÜ2ÏÌ3œ ¯G–úÍ §R‚Y?.â€4!àý+Ôñ'=Ýä‹kÓÚ´®¥ÖMÑÄr6%lj k®àËp/'6ë]�E“‚�®IúÔèKO oÁT,Ã|K14’ÓèÿêΫ-ªÜÛt¾M÷ç\–Í*÷+9d:Èj+æUæÞ퀞߲ ¨Z‹ÅÆb_3©›�ÿ– Çrv¤)¹ QQ?»£íëÅF§ôíÓÅZë¬Gh]’|L×ã.'–r}óä�¼ !CÓ§w¹²;ûmÎeȃZfˆáÜ"†�ÓùC¸—e‘ßȸ�¤ô¤˜N€6Qšë-Ftgp˜)r*w<@Ðùì²xbTu’D;-¯ô!çwgAÛp¦‚{tQ,§(lÞ˜Ó‚„Ž|½W¤²ˆ¬@Iíw¤ ÙÓ)¤_öh ±°ªŒÐrÐRÐÊWÝÙãä¬ç“=é Luežô …Ûš·Ü˜Þëü>«›�^¦Ä¥úó¸+øº1ËIë–zyÈy.¤ÂÛÙÐô}Ø5…ï]™©¬ã”°»F·pK¶„Ðgݾk�Pɲ1Ü)¡±nCí7ì yW”eèŸ|¬‹d6ëÛ\û‡Oȳ‘ò†ßŽ¢;†(5lãvK¶ŠS¨ÁC»CðîÍ^!ÑzZ³"q„ñÍv©fçdã?h� çÓ[˜‡òŒ ~�y¬ZørmXâ2çÓÒÔ<•mY什E·³%²i‡äá üH¦ciÛ(_6¶ŸHåRÓ_Є¾òi’¡‚ÆÁ�:’©�F6¹ÍåÖGCþk/jÞ–|©âÍVÇaÚ‘áq»O’'£ÕVä†ôŽíaYÇ'`Š(bšÝ"£HA@ 8ÚM‹ÇJoU)RÄq˜€ƒq|„3jÚú”á‡îÊž6žœZz<'ýqí~ÀQÇÐ_º³^‰yßÇ°_nF *c›Ì/ ôT ß¹Š «®W]bìO[�û¶—Y³-a,ò!̦ŒCV×=ùJ‰+÷ #‘�ØÂ}ØÝ`Ê–o¬.3åW* T$XÖU¢�6И§�Å$qì)…s!¦ÊaÞZÚ`ÃõsFN¹ÅÝG›(³]z¸h§»DaC ‘ͰЪsä³zŠÂ> DŠ¨ÉTGØŒßËÇö¤#»‡+‰—�‚y²äm�O•D T^´†—š3€7ó»)’t[ 7r 3ì´ªÚ�´bÏ�ü )eZ!íáyåéc«¸úèŸáKo0ÖWH9ö×΃�;[Rz~3ƒDbÅö ØŒCMûeÝ–H˜ £ êùŒ]I:4xƒéåc‹„‘.1Ô½žÀ ÉímŒÅ|d”Ê�â«Õ)€¿d;¥/(“W-êM*£¨j»ÛvtUˆë„@zûX)•-_>æÆ�J¬á³;xª‚éÓ‘®ca‹^Ê uzKëj›Ê¬ä °ûê®ýné »ëð$ �¶TVA^? e¼'5@Ò†Î=}ìÚxÚô ò«Š…. ŸÏ úG%Æãú±h¹‚2]oE[ KñmO3s¼¢¸Ç’lW¯\T§tˆùéc5ŽX°3²?,ÚľSÄîkà„Ø™@�þ“°œãZŽ7Éò›PÞBß.¯ï™¤Š<ÄF•K}úX$æq+ZRnb×C}Žy+˜ÿ-RÃŽ�¼ž:ª–ŸŽz’ùu²ÌË2nšså:ô Dß#Ùúþ¼§•+¨�÷)r³Q»‡¿~ʼ ×ìϢă ú7ŽZ¡{�®D¿G`'DM™3™VH ãE/d�‰ ]ú…(ûÊÍ�R*¼¨?E:|²¢•·>Qµ—y’pLóëa�¾ª$ªé‹Ê¨ØùáÍœ·ºy&Ëâð•(CNŽÜ)|±Å4©ƒÇG3ÞÍüój±x·‹î�ö ãoëþ-lLɯ–Ϋñ(CHj¹{8:Ë×ÊÉø¾6„wêÜéǦeEî„�ò`Ä¢îú�ã�ý �g_é÷ñ,¸L€CRÄ]¢rÛO¥þTO•Ä¢»HÊkMÞÈÕcž'T¬Œ÷˜Þˆ áI…g_I}ëAsŸ¥%9.oa�Ü~½µFVÔ=úÞÿ¼vIPÐË:O*ß3©l[€1ØÆoÍ .1Úé}¥}2–Ë°ýUD‡Ý£FxŸ°NU„�ñìê:±wîŽ ï¿›»?Rÿ–vT�j¡†Ù¶™4~eK9}ÊÛ³¯ôÇx´’à Z3cßl'9Õñ�RÙSR®‘ǽ;ä-{ý9ÃíRˆ1#¿ ù³¯ôèím8÷lŒ(œÌõfT3$;i=ä�þ8™x×Ô�YLõ®·IÞ³xRá¼üi_•ë�ZÉ¡÷á?0µÅZóöèç,4õÀ[)ÏÜuÏX÷К‚Xí£§xÄ3ßàYÔ ê¦R©}èÎá÷¾Æñ6<ç¤^eUÛq§ÄG”Øë¥La…½"`Q;�{0쨧xÚX�g¥ÀíÐý‡½r7ƒš€!¤@NJé2?lÌcü¼�¾påºNeÜE¼Ô³»ô‰ëVF�*bä oúQ3è�uÑêý|ö©R„÷ ®‡jôMØCسèQ"^„Nó}NpȤÄÈ‹SmLÕ¶÷ð¢ð¨�÷£?„ûq¿±:mòá‡5k~žéðC �# % v3ù¶ýH3²ù´Ç _R"‡ƒÇ‰R$Ÿ§½ h……Ý+S•júl<ØZ…Nyá[ç*=�Jy|Ô£-Ë0qË`àîò½D5ÂëlªÁC±|˜F™%Òó=FáB´¢¢ÌÓ鿆l=N¯Í’n4c+À@›ÑäqЕވç=Œ¨þ«3]37ÙÃ6Â7k°-Æ‘ d¸�c¨�¸ñ*8µŽ"פ†ô™š jf|s¤Âxtì¿–š•<»—d_>} EÊ|þu†FV )M¾ëm(ù1à4‡–ˆÚÎØDðkBIêŽ�B`S_m dÝ™â"ësÎ^B J}j‘pò˦Ì%³¼AÃÃŒïÉܬ»;C¼K9¶ºŽn ÅÇ H£Ê‡Ã;GT‘_¥è÷ˆoß÷T£€ÖxÖñ©@ºTÓ+�<Á¸â4�®ï0 ¿“ú¸'™sÙÚóæm¬Ô+úìÞÒçûªP¹Í›üâ)Îúá^ý1lÛâ¸/ƒrne¯_V5^c¥W"ÏŸÇÑG~+ç(ùkYjÐ2¯ý±!2Ãœ®a!§fö·¡7ûX7:å÷7ì^v£°«²�Úp«¡]ô÷7"\Ðï(�©[~âààîæ2gšdæÌÝ“¨ïǯðwÃÞhŠÇQEd2Øò¡ÍBnn܃¤UÍ|PŠÝT-uÙ±PÈÕÁ´j·°ê¢X5©��ŒHSßwºf~9ÓS¹ªZf2,7°‹©2‡{šÒ“ýÄl—é&ó(óíÜÅÑGoÏVüµ®¡ØÓ4s·§Q)çgª¢½k{Nj¹úíÙ9lÍ—+éQ¡žStWþsºýãv¿©õ– ¤oú/óŽúLu@]O»†ý€þVŠšˆbPšò×£V@÷ÇN©æéE�øH'’ÓS¨zñÏê¬Ýikð>F¸YØ`G~ß,æ蹆lE¤=”â¦ê¼BZ}x;ݘõú}Ф‘2Ò¹º~$ÿdš–Ëßµ7hˆ4¿ÏjÏ툸»H›rhäì•ŸTÞ¬»›�!³Úü¾ÓŽºÀãÜZ“Oìäû'¹…Bu%r‡…~ûH3Ó:nZ-×ô°ÑøÇm£ú®<¤úïu &\ÙWÉj“E=žÌxÎLÆt{ƒŸ²¸çQ‹†T=ÄqÕÿ¼ôÄæ Cг0Rú†|~½ëúÚ)Á3$ê¦ç) нUsÏY©Ý sâ�g¬½í[O¨{쫳1mïÀß4¾OÀ�¼ƒæ\”a^õå‘ž;í¨Û˜¨~ˆ®™]’ñ